Apa yang membuat generasi kita sekarang, Milenial dan Gen Z, menjadi lebih rentan terhadap depresi dan penyakit mental lainnya? Harvard Business Review baru-baru ini menerbitkan temuan studi tentang kesehatan mental di tempat kerja yang melukiskan gambaran suram kecemasan di kalangan anak muda.
Dalam sebuah survei, setengah dari milenial, mereka yang berusia antara 24 dan 39 tahun, mengatakan mereka meninggalkan pekerjaan setidaknya sebagian karena alasan kesehatan mental. Untuk Gen Z—mereka yang berusia antara 18 dan 23—persentasenya melonjak menjadi 75, dibandingkan dengan hanya 20 persen di antara populasi umum.
Alasan Milenial dan Gen Z ebih Rentan Terhadap Depresi
Hasil penelitian, yang diterbitkan oleh kelompok advokasi kesehatan mental Mind Share Partners, adalah salah satu ukuran seberapa serius kecemasan dan depresi di kalangan anak muda saat ini. Dilansir dari blog University of Alberta, berikut ini 3 alasan kenapa Milenial dan Gen Z lebih rentan terhadap depresi:
1. Jalan yang Lebih Sulit
Salah satu penjelasan yang populer adalah tesis berjudul “Kepingan Salju”—bahwa remaja saat ini telah dimanjakan oleh fasilitas dari orang tua dan dibiarkan menghindari tanggung jawab dan kemandirian yang menumbuhkan ketahanan mental.
Namun, sosiolog University of Alberta, Lisa Strohschein mengatakan bahwa pandangan itu justru membuat kaum muda tidak berdaya, padahal kenyataannya, mereka benar-benar menghadapi hari ini lebih keras daripada generasi sebelumnya, terutama dalam hal prospek pekerjaan.
“Generasi milenial melewati Resesi Hebat tahun 2008, akhirnya harus mengambil pekerjaan yang tidak mengarah ke mana pun, dan itu terus berlanjut hingga hari ini …. Jika Anda berada di suatu pekerjaan yang buntu, itu dapat menghasilkan stres.
“Dalam 50 tahun terakhir, harapan setiap generasi akan lebih baik dari generasi sebelumnya. Ini adalah generasi pertama yang belum tentu benar,” katanya.
Pada saat yang sama, Milenialdan Gen Z jauh lebih sadar akan masalah kesehatan mental dan lebih mampu mengartikulasikannya daripada orang tua mereka, kata Sarah Flower, manajer promosi kesehatan untuk Layanan Sumber Daya Manusia University of Alberta. Mungkin ketika generasi yang lebih tua seperti generasi Boomer atau Gen X berhenti dari pekerjaan di masa lalu, mereka tidak menyebutnya sebagai masalah kesehatan mental.
“Generasi ini jauh lebih menyesuaikan diri dengan apa yang mereka butuhkan. Orang-orang akan berkata, ‘Saya memiliki kecemasan,’ atau, ‘Saya telah didiagnosis menderita depresi’—mereka sangat terbuka untuk membagikannya (mengungkapkannya).”
2. Stigma Penyakit Mental Tetap Ada
Namun stigma itu tetap ada. Menurut studi Mind Share Partners, kaum muda mungkin lebih sadar akan apa yang sebenarnya membuat mereka sakit, tetapi enggan membicarakannya di tempat kerja.
“Beberapa profesional muda berusaha mengatasi masalah kesehatan mental di tempat kerja untuk pertama kalinya,” kata Blessie Mathew, direktur Pusat Karir University of Alberta.
“Mereka khawatir tentang pandangan dan stigma, dan sering mengesampingkan kebutuhan dan kesehatan mereka terlalu lama. Mereka kemudian mencapai titik di mana menangani kesehatan mental dan bekerja pada saat yang sama tidak memungkinkan lagi.”
“Untuk generasi yang lebih tua,” kata Sarah Flower, manajer promosi kesehatan untuk Layanan Sumber Daya Manusia University of Alberta, “Sangat jelas ada pemenang dan pecundang. Sekarang kita tidak membiarkan banyak kompetisi.”
“Kita tidak membiarkan kegagalan, tetapi kegagalan adalah salah satu aset terbesar yang dapat kamu pelajari. Ini mengajarkan mu untuk bangkit, memperbaiki diri, dan tidak membuat kesalahan yang sama dua kali.”
Tetapi seperti kebanyakan generalisasi, ada kontradiksi dalam profil generasi, kata Stroschein, mencatat bahwa milenial juga cenderung berpikiran terbuka dan sadar lingkungan, “memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa mereka dapat membuat perbedaan positif di dunia, dan selalu mencari pengalaman baru.”
3. Dampak Media Sosial
Media sosial adalah faktor penting lain dalam kecemasan yang melanda Gen Z khususnya, menurut Jean Twenge, seorang profesor psikologi di San Diego State University dan penulis “Generation Me dan iGen.”
Dalam artikel Atlantik berjudul “Apakah Smartphone Menghancurkan Generasi?” dia berpendapat smartphone telah secara radikal mengubah sifat interaksi sosial-dan akibatnya, juga mempengaruhi kesehatan mental.
Strohschein berpendapat, bahwa anak muda jauh lebih terhubung dengan orang-orang di luar daerahnya dibanding lingkungan lokal mereka sendiri, atau hampir selalu terhubung. Kelemahannya adalah mereka terisolasi secara sosial di komunitas lokal mereka.
“Isolasi itu mungkin, secara serius, menghambat kepercayaan sosial mereka,” imbuhnya.
Namun, sekali lagi, selalu ada sisi positif dari generasi ini yang harus lebih ditumbuhkan. “Mereka adalah generasi yang sangat kreatif yang tidak menerima jawaban tidak, jadi saya pikir ada banyak hal baik yang akan datang,” kata Flower. “Tantangannya adalah membangun kerangka kesehatan mental sehingga mereka tidak ‘merasa kacau’ sementara ini.”
Apakah ada dari 3 alasan di atas yang kamu rasakan sebagai generasi Milenial ataupun Gen Z? Bagaimana dengan pendapatmu mengenai kesehatan mental yang kita bahas di sini? Coba berikan komentarmu, ya.