
CerPen – Dayung Cinta, Bapak Tak Merestui Hubungan Kami
Dua hari yang lalu, dia datang ke rumahku dengan niiat baik. Sendiri. Tentu saja. Karena aku melarangnya untuk menggiring keluarga besarnya ke rumah. Aku ingin dia menunjukan keberaniannya menghadapi bapak. Namun ternyata malam itu menjadi malam terakhir hubungan kami.
Entah apa salah kami sampai bapak enggan merestui hubungan tersebut. Hubungan yang kujalin selama lebih dari enam tahun lamanya. Selama itu pula aku hanya mencintainya, walau aku tahu beberapa kali dia menunjukan sikap bosannya. Karena aku terlalu sibuk mengejar impianku.
Bapak bilang aku tak boleh menikah dengannya. Karena persoalan kalung di lehernya. Aku lupa memperingatinya tentang hal itu. Karena kedatangannya dari luar kota yang membuatku antusias menyambutnya. Masalahnya kecil tapi mengundang petaka bagi hubungan kami.
Setelah malam itu, sikap bapak padaku pun dingin. Aku cemberut dan tak ingin menyapanya. Aku tahu ini salah tapi apa salah Cinta? Kenapa bapak selalu mempermasalahkan hal-hal kecil. Dulu keinginannya agar aku tetap di sampingnya hingga aku meninggalkan impianku. Tapi kini bapak keterlaluan sekali.
Baca Juga:
“Sudah makan?” tanya ibu sambil mengupas ubi.
“Sudah bu.” jawabku pelan.
“Kamu masih kecewa dengan keputusan bapak?”
“Sedikit bu.”
“Ibu tahu ini sulit tapi cobalah untuk mengerti bapakmu. Dia orang yang keras. Sekali putih, maka putih selamanya.”
“Tapi kenapa cuma gara-gara kalung bapak menolak Prama? Kak Prama sudah cukup sempurna menjadi pasangan hidup Dayu. Dia laki-laki yang setia bu.” ucapku sedikit memanipulasi kata setianya. Agar ibu dapat membantu membujuk bapak.
“Hargailah keputusan bapak untuk saat ini Yu.”
Ibu melangkah keluar dengan membawa baskom berisi Singkong yang nantinya akan dijadikan Kolak Singkong Putih. Aku kembali ke ruang tengah sambil memandang derasnya hujan yang turun. Dingin. Aku teringat dengan ekspresi Prama yang pergi dengan wajah kesal. Perdebatan panjang antara bapak dan Prama membuatku terjebak dalam dilema besar.
Bapak ataukah Prama? Aku mencintai dua laki-laki bersamaan. Namun rasa cintaku lebih besar pada bapak daripada Prama. Karena itu aku mengikuti keputusan bapak untuk meninggalkannya.
Melupakan cinta? Jujur saja aku tidak bisa. Selama ini bapak selalu membatasi hubunganku dengan lawan jenis. Bahkan bapak tidak pernah berhenti menghubungiku via suara saat berada jauh darinya. Seposisif itulah bapak tapi aku tidak pernah merasa keberatan. Aku yakin apa yang menjadi keputusannya adalah pilihan terbaik.
Lagi. Suara khas Tamer Hosny menggema dari kamarku. Gawaiku berdering untuk kesekian kalinya. Sudah berapa jam dia habiskan untuk menghubungiku. Laki-laki itu sama kerasnya dengan bapak. Ia tak terima dengan ucapan bapak dan menerorku dengan ratusan panggilan. Haruskah aku memblokir nomornya. Agar dia benar-benar berhenti menghubungiku.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya bapak.
Tunggu, sejak kapan bapak berada di sini. Ah bapak membuatku takut saja. Suaranya mirip dengan Prama hingga aku takut menoleh ke belakang.
“Angkat, biar bapak yang bicara.”
“Nggak usah pak. Bukan orang penting juga.”
“Kamu masih nggak terima sama keputusan bapak?” tanya bapak dengan nada intimidasinya.
“Bukan pak, tapi memang nggak seharusnya juga mengangkat panggilan dari Prama. Ini semua udah berakhir.”
“Dia nggak akan pernah berhenti ganggu kamu Dayu. Dia akan terus mengusik kehidupan kamu. Jadi angkat saja biar bapak yang bicara. Kalau kamu nggak mau biar bapak yang angkat.”
Aku tidak ingin berdebat lagi. Aku beranjak dari sofa menuju kamar dan menyerahkan gawaiku pada bapak. Suara Prama yang tersedu-sedu rupanya tak mampu membelah dinding restunya bapak. Ucapan bapak sedikit kasar tapi Prama tak mau kalah. Dia semakin meninggikan suaranya dan membuat bapak marah.
Prangg…..
Gawaiku tergeletak di atas lantai. Pecah. Bapak menatapku dengan mata yang sarat amarah. Lagi bapak mengatakan akan membawaku pergi jauh.
Saudara-saudaraku sangat kesal padaku karena masih saja membela bapak. Padahal hatiku sendiri berat sebelah. Memikirkan Prama membuatku tak sanggup memejamkan mata. Tidak ada lagi tidur nyenyak.
“Apa kamu tidak bisa membelaku Dayu?”
“Sedikit saja buka matamu Dayu. Bapak telah membuat kamu menjadi manusia tak berhati lagi. Aku tahu jika ucapanku sama kasarnya dengan yang bapak lakukan. Tapi aku lakukan itu karena aku terluka juga Dayu. Selama ini kita bersama bertahun-tahun dan kurang sabar apa aku menjagamu.”
“Aku bahkan tidak pernah menyentuh tubuhmu Yu. Aku menjaga kehormatanmu Dayu.”
“Kak, Dayu mohon tolong jangan menyudutkan Dayu terus. Dayu paham apa yang kakak rasakan sekarang tapi tolong …”
“Sampai mati pun aku nggak akan menikahi wanita selain kamu Dayu.”
Itulah percakapan singkat antara Aku dan Prama. Sebelum aku mengganti nomorku dengan nomor baru. Aku menghubunginya untuk yang terakhir kali. Dia marah. Sangat tapi aku abaikan karena terlalu mendengar ucapannya akan membuatku luluh.
Desa Pinang, di sinilah aku sekarang bersama bapak mendatangi sebuah rumah. Rumah tua yang sudah tak terawat dan itulah tujuan kami datang ke sini. Merawatnya agar lebih enak dipandang mata.
Desa Pinang sangat asri . Jalanan diselingi oleh pepohonan yang tinggi. Saat kami berdua berjalan, orang-orang yang berpapasan dengan bapak pun menyapa kami. Dari teman kecil sampai musuh bebuyutan pun menyapa kami.
“Dulu di sini banyak sekali anak-anak muda nongkrong di simpang gardu. Tapi sekarang mereka sibuk mengejar dunia. Hingga lupa rasanya berkumpul bersama orang-orang.”
Sepanjang jalan aku hanya mendengarkan cerita bapak. Penggalan kisah mudanya bersama teman-temannya sangatlah menarik. Bapak menceritakan bagaimana awal mulanya dia bekerja sebagai guru honor yang mendapatkan gaji seratus lima puluh ribu rupiah. Katanya gaji tersebut sangatlah berarti pada masanya.
“Kalau sekarang uang segitu cukup apa Yu? Buat makan dua hari saja masih kurang. Dulu bapak malah bisa beli bahan makanan buat dua Minggu.”
“Sekarang sama dulu kan beda pak.”
“Nanti bapak kenalkan kamu sama teman-teman bapak.”
Aku mengiyakan saja. Karena tak ingin berdebat lagi dengan bapak. Aku berjalan ke halaman belakang rumah dan menemukan ladang singkong yang subur. Pohonnya tingggi dan daunnya hijau. Kata bapak sebentar lagi memasuki masa panen. Ini artinya kami akan segera mencicipi singkong tersebut.
Tak terasa sudah dua bulan aku tinggal di Desa Pinang. Aku mulai kerasan di sini karena masyarakatnya yang ramah dan juga sopan. Satu hal yang sangat menarik dan sulit aku lakukan menjadi bagain anggota masyarakat Desa Pinang. Yaitu jam keluar malam.
Biasa hidup di kota membuat aku kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Di Desa Pinang, anak-anak gadis dilarang keluar malam lewat dari jam delapan. Karena akan dikenai hukuman atau denda seekor kambing yang umurnya dua tahun. Adatnya kuat dan orang-orang di sini masih kental dengan aturan adat yang lama tersebut.
Jika di rumah, ibu akan menjadi alaram pengingatku, maka di desa ini gantian bapak yang menjadi alaram pengingatku. Sekali, aku pernah keluar untuk mencari makanan ringan hingga lupa waktu. Saat aku pulang, di jalan aku dicegat orang-orang desa yang bertugas menjaga keamanan.
“Nama?” tanya laki-laki berbapakain hansip lengkap dengan topi.
“Dayu.”
“Orang baru ini kang, makanya dia nggak tahu aturan di sini. Sudah lepaskan saja.”
“Hush, diam kamu. Enak saja main dilepaskan. Kita bawa dia ke balai sampai orang tuanya yang menjemput.”
Berita dibawanya aku ke balai membuat ibu-ibu heboh. Mereka yang penasaran langsung berjalan ke arah balai dan mempertontonkan diriku yang duduk di tengah-tengah balai. Aku melihat tatapan dan bisikan kejam yang mereka lakukan. Jujur , aku merasa terintimidasi dengan tindakan mereka. Aku pun memilih untuk diam dan menunggu bapak menjemputku.
Sejak peritiwa itu, aku benar-benar mengingatkan diriku agar tidak lupa dengan aturan tersebut. Maka dari itu, aku mengaktifkan pengingat di gawaiku setiap hari agar aku tidak masuk balai untuk kedua kalinya,
Prama. Laki-laki itu sangat tidak bisa dikendalikan. Ia mencariku dan menemuiku di Desa Pinang yang kebetulan juga memiliki kenalan di desa tersebut. Ia datang sendirian dan dengan beraninya menemuiku di rumah. Aku kesal karena sikapnya yang keras kepala dan memaksa agar aku menemukan dirinya dengan bapak. Lagi.
Aku menolak. Karena tak ingin bapak kehilangan kesabaran. Cintanya padaku sangat besar hingga berani melakukan apapun. Bahkan mengejarku sampai ke Desa Pinang.
“Aku akan tetap menunggumu sampai bapak merestui kita.”
Aku memutuskannya tapi dia tidak menerimanya. Dia kembali memasangkan cincin di jari manisku dan memintaku tidak melepasnya lagi. Apa lagi membuangnya ke tempat sampah.
Dua laki-laki yang sama kerasnya. Aku mencintai keduanya dan sulit bagiku untuk memihak salah satu. Meski bersama bapak, hatiku tetap untuk Prama. Namun jika aku memilih Prama, maka bapak akan memisahkan kami lagi dengan cara apapun. Mungkin saja bapak akan mengirimku ke luar negeri. Mungkin. Tapi Prama, laki-laki itu tidak akan berhenti.