Cerpen: Papa, Aku Hanya Ingin Bermain

“Ampun… ampun pah”, suara itu menggema lagi.

Aku termenung menatap nanar dinding kamar yang menjadi pembatas kami. Seandainya aku tidak punya pengalaman trauma.

Mungkin saat ini aku akan keluar lalu mendobrak pintu rumahnya. Kemudian menyelamatkan anak itu dari perlakuang kasar sang ayah. Sayangnya, nyaliku terlalu ciut untuk bisa mewujudkannya.

Sepekan sudah, hari-hariku dipenuhi dengan tembok derita ini terdengar suara isak dan tangis yang menyesakan hati.

Teriakan ampun. Tolong. Sudah ku dengar ratusan kali, tetapi tiap ku dengar aku tak melakukan sesuatu yang berguna. Duduk diam sambil ikut menangis.

Setiap hari aku juga ikut tertekan. Bukan karena pekerjaan tetapi karena fakta bahwa hidup dalam rumah tangga tidak sepenuhnya menyenangkan.

Apakah salah jika anak meminta uang? Jika pun orang tua tidak memiliki uang, seharusnya orang tua mencari pekerjaan apapun itu untuk bisa memberikan hak kepada anak dan istrinya.

Bukan kepo bukan ingin tahu urusan orang lain, tetapi bukannya laki-laki punya tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya? Lalu apa gunanya laki-laki duduk di rumah sementara wanita kerja dari pagi hingga malam?

Aku masih penasaran apa yang dilakukan ayah anak itu selama di rumah setiap harinya? Selain hanya bisa membentak dan berlaku kasar kepada anak.

Sepertinya tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Bahkan hari ini, anak-anak itu kembali adu mulut hanya karena makanan.

Aku ingin membantu tapi aku sendiri bahkan tidak berdaya dengan keadaanku saat ini. Itulah yang membuatku menangis dan merasa tak berguna.

Sore harinya di tengah rintik hujan, aku mendengar suara tawa mereka yang bahkan menembus dinding kamarku. Aku tersenyum menatap langit-langit rumah.

“Oh Tuhan, seandainya aku sekarang di rumah apakah tawa itu juga bisa aku rasakan? Syukurlah hari ini aku masih mendengar ada kebaikan di balik dinding ini”, ucapku sambil memegang dada.

Terlepas dari semua masalah yang aku hadapi beberapa bulan lalu, aku merasa tidak pernah sekalipun dalam hidup aku memikirkan diriku.

Aku bahkan selalu mencari cara agar bisa membuat kedua orang tuaku bersama. Aku tidak ingin mereka bertengkar karena hal-hal kecil lagi.

Sejak memutuskan untuk hidup mandiri di negeri orang, aku belajar banyak hal  setiap harinya. Mulai dari pemikiranku yang enggan menikah karena trauma dengan kejadian di masa kecilku.

Kini setiap aku melihat anak-anak kecil yang ku lihat adalah bagaimana mereka begitu polos dalam menjawab dan memberikan pernyataan.

Namun hari ini, aku melihat begitu besarnya dampak dari kepolosan anak-anak dalam memberikan penjelasan yang tak bisa dicerna orang dewasa.

Sejak pagi aku memperhatikan mereka, memang saat ini aku memilih untuk kerja dari rumah daripada kantor. Karena faktor kesehatanku yang kurang membaik dan aku tidak ingin kelelahan di jalan.

Jadi, setiap hari aku akan menulis di ruang tamu dengan kondisi jendela dan pintu terbuka. Setiap hari, satu-satunya pemandangan yang menyegarkanku adalah anak-anak.

Ya, walaupun sebenarnya suara teriakan dan tangisan kadang sangat menganggu. Namun itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan.

Setengah hari berlalu, anak-anak sepertinya larut dalam permainan mereka sendiri. Namun tak berapa lama kemudian, seorang anak mencoba memanggil salah satu orang tua dari anak-anak yang tengah bermain.

“Mama Rama….. Rama mukul Zio”, ucap salah satu anak yang berpakaian sinlet putih dan celana pendek.

Setelah mendengar penjelasan anak berpakaian sinlet putih, Ibu Rama keluar dan memanggilnya. Aku perhatikan di balik jendela, Ibu Rama berusaha mendapatkan penjelasan dari anak berkaos putih.

“Dipukul apanya?”, tanya Ibu Rama.

“Jidatnya”, ucap sang anak yang dipukul jidatnya.

Aku melihat ke arah lain, di depan pagar menuju kontrakan kami. Anak yang disebut itu tengah menahan rasa takut karena melihat interaksi antara ibunya dan anak-anak yang bermain dengannya.

Aku melihat wajahnya jadi murung dan tangannya mengepal seraya berjalan dengan kepala menunduk pasrah ke arah ibunya.

“Rama, minta maaf”, perintah ibunya.

“Maafin Rama”, ucap Rama sambil bersalaman dengan temannya yang dipukul jidatnya.

Tidak berapa lama kemudian, ibu dan anak itu masuk rumah. Ku lihat langit juga semakin mendung dan sepertinya hujan akan turun.

Suara geledek petir bersahutan, angin kencang membuatku menutup pintu dan jendela. Hatiku ikut bergemuruh mendengar suara Rama berteriak.

“Pinter lu ya, siapa yang ngajarin lu mukul anak orang hah”, ucap ayahnya.

“Ampun pa… ampun pa…”, teriak Rama semakin kencang.

“Gue beri lu, biar kapok”, ucap ayahnya.

Di tengah gemuruh itu, aku ikut menangis setelah mendengarkan suara Rama dari perlakuan ayahnya yang kelewat batas.

Aku tidak tahu benda apa yang jatuh tapi mendengar Rama disiksa di kamar mandi membuatku tidak fokus untuk bekerja.

Sialnya, aku malah membayangkan penyiksaan yang tengah dilakukan ayahnya kepada anak bernama Rama, suara teriakan dan bunyi gayung serta air bersahutan dari kamar mandi.

“Ampun nggak?”, ancam sang ayah.

“Ampun pa”, ucapnya sambil merintih.

“Janji lu nggak akan ngulang lagi. Awas lu, besok nggak boleh main”, ucap ayahnya.

Aku membekap mulutku kala mendengar suara benturan. Tidak. Ini sudah sekian kalinya, aku bahkan tidak bertindak sama sekali.

Aku yang tidak tahan lagi hanya bisa meneteskan air mata. Jujur aku mulai tertekan dengan tindakan yang dilakukan ayahnya.

Selain tindakan kasar kepada anak, ucapan yang dilontarkan pun tak bermoral dan membuat anak sekecil Rama tak akan mampu mencernanya.

Seusia Rama, anak-anak sering bermain dan melakukan kesalahan termasuk juga tidak sengaja melukai temannya. Karena dalam bermain, orang dewasa tidak bisa membuat aturan untuk mereka.

Namun pantaskah anak-anak mendapatkan kekerasan fisik dan kekerasan verbal seperti itu? Dengan mengintimidasi bahwa mereka salah dan harus dihukum bukan cara yang baik.

Karena mungkin besok, anak bisa mengulang kesalahan yang sama atau mungkin juga tidak. Hanya dua itu kemungkinan yang akan terjadi.

***

Dua minggu setelah kejadian itu, aku sama sekali tidak nyaman dan rasanya ingin menceritakan hal ini agar tidak menjadi beban dalam pikiranku.

Untungnya, malam Minggu aku bisa bermain di rumahnya dan berkumpul dengan yang lain. Saat duduk bersama, aku menceritakan kekerasan yang dilakukan tetangga kontrakan yang berada tepat di sebalah kiriku.

“Iya, rasanya aku nggak tahan banget. Aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi selain nangis. Selalu aja ada cerita baru tiap pagi dan selalu nangis”, ucapku.

Setelah mendengar ceritaku, temanku juga membenarkan hal itu dan mengatakan sudah ada yang melaporkan kepada Pak RT.

Aku merasa lega karena ternyata ada yang setidaknya lebih berani dari diriku. Kebetulan juga, malam itu Bu RT ikut kumpul bersama dan aku mengatakan kronologinya.

“Kamu nggak berani kak?”, tanya Bu RT.

“Aku nggak berani. Karena baru dengar anak itu nangis aku juga ikut nangis”, ucapku.

Mereka semua memintaku untuk melakukan rekaman sebagai bukti. Namun aku bilang, jika mereka berada di posisiku tidak akan sanggup untuk melakukan rekaman video ataupun audio.

Bukan hanya aku, tetangga yang lain juga punya anak dan suami tetapi tidak ada ayah yang tega menyiksa dan memukul anaknya setiap hari.

Anak-anak di lingkunganku memang terkenal nakal dan bandel. Karena menurutku tindakan mereka masih normal sebagai anak kecil yang masih mengeksplorasi diri sendiri, kecuali jika sampai mereka mencuri uang.

Satu hari setelah curhat, selepas solat Duha aku kembali mendengar suara anak itu menangis. Aku pun ikut menangis. Aku melihat ponselku bergerak dan aku menjawab sambil berusaha menyembunyikan suara serakku.

“Ya Allah,” ucap temanku.

“Itu anaknya lagi nangis? Kenceng banget sampe sini”, ucap temanku.

“Kalau mau bagikan kue, kasih dua ya biar adik sama kakaknya nggak rebutan”, ucapku.

Temanku ikut menangis karena mendengar suara serakku. Mereka juga tak habis pikir ada orang tua yang setiap hari menyiksa anaknya secara fisik maupun batin.

Tidak berapa lama kemudian, aku mendengar suara Pak RT mengetuk pintu rumah mereka. Aku yakin ini karena teman-temanku tadi mendengar suara tangisan anak itu.

Aku duduk sambil berusaha menutupi telingaku tetapi memang dasarnya harus mendengar.

Sepasang suami istri itu melakukan pembelaan, mereka mengaku tidak melakukan penyiksaan kepada anak-anak mereka. Bahkan ibunya sangat lantang membela suaminya.

Aku terkesima mendengar jawaban ibunya, sungguh aku tidak menyangka ada seorang ibu yang lebih membela suami daripada anak.

Tidak lama dari bertandangnya Pak RT ke rumah mereka. Aku mendapat kabar bahwa suaminya ingin mencari pelapor yang menuduh dirinya melakukan kekerasan kepada anaknya.

Aku yakin bukan hanya aku yang mengadukan masalah ini, karena sejujurnya banyak orang yang mungkin diam-diam lebih berani dan melakukan laporan.

Hanya saja, setelah Pak RT pergi ibunya tiba-tiba mengetuk pintu rumahku dan menawarkan barang jualannya.

“Ini saya punya jualan, kira-kira tertarik nggak buat ngemil”, ucapnya.

“Lagi puasa, kayaknya nggak dulu”, jawabku.

Setelah kejadian Pak RT yang datang ke rumah mereka. Sepertinya sekarang mereka lebih hati-hati lagi memperlakukan anak-anak.

Aku turut bahagia. Karena aku tidak mendengar suara anak itu menangis apalagi menjerit kesakitan. Aku tidak tahu kenapa orang tua masih memilih mendidik anak dengan cara tradisional.

Menurutku, memberi meraka hukuman tak akan membuat mereka jera karena hukuman di dunia bermain adalah hal yang menyenangkan.

Aku melihat itu setiap anak-anak bermain. Hukuman dalam permainan dianggap hal yang menyenangkan tetapi di sinilah tantangan orang tua.

Jangan pernah melakukan kekerasan fisik apalagi verbal berkata kasar. Karena sejatinya anak-anak peniru yang hebat.

Papah, aku hanya ingin bermain.***

AnakCerpenOrangtua
Komentar (0)
Tambah Komentar