
Wanita adalah belahan jiwa dari seorang pria. Ia diciptakan oleh Tuhan secara fitrahnya yaitu bersifat feminin, lembut, dan tidak mempunyai tenaga yang kuat dibandingkan laki-laki. Yang paling dominan, ia mempunyai kelebihan memiliki perasaan yang kuat, penyabar, dan hati yang lembut. Dan itulah salah satu dari hikmah kenapa wanita dalam Islam memikul beban dalam mendidik anak-anak, sebagai peran penting dalam rumah tangga, melayani suami dan lain sebagainya.
Dewasa ini, seiring dengan gaung emansipasi wanita yang menggema mengikuti perkembangan zaman, banyak para istri yang berperan ganda dalam menjalani rumah tangga mereka. Bahkan tak jarang bagi beberapa pasangan suami dan istri untuk bertukar peran.
Sang istri menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja di luar rumah, sementara suaminya menjaga anak-anak dan mengurus segala keperluan rumah tangga. Sepertinya kondisi ini terkesan dipaksakan karena menipisnya lapangan kerja bagi kaum laki-laki.
Tanpa disadari, hal ini juga perlahan mengabaikan ketentuan syariat tentang hukum keluarnya seorang istri dari rumah tanpa seizin suaminya. Lalu bagaimana sebetulnya pandangan keluarnya seorang istri dari rumah tanpa izin suaminya, jika dilihat dari berbagai aspek?
Apa Hukum Istri Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?
Syariat Islam menetapkan bahwa hak dan kewajiban suami istri adalah bersifat timbal balik. Ketika Islam mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, maka Islam juga mewajibkan agar istri untuk taat kepadanya dengan tetap tinggal di dalam rumah.
Baca Juga:
Jika seorang istri telah menerima seluruh atau sebagian maharnya maka ia berkewajiban untuk tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh meninggalkannya kecuali dengan izin suaminya selain dalam keadaan-keadaan yang dibolehkan baginya untuk keluar, seperti mengunjungi kedua orang tuanya sekali dalam satu minggu.
Jika seorang istri keluar rumah lalu ia menolak untuk kembali lagi maka ia dianggap telah menentang suami (nusyuz) sehingga ia tidak berhak mendapatkan nafkah sejak waktu penentangan itu.
Menurut Dr. Abd Al Qadir Manshur dalam Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah min al-Kitab wa al-Sunnah, seorang perempuan yang telah menikah harus meminta izin suaminya ketika hendak keluar rumah.
Beliau kemudian mengambil rujukan dari Ibnu Umar yang pernah meriwayatkan, suatu hari ada seorang perempuan datang kepada Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja hak suami atas istrinya?” .
Beliau menjawab, “Hak suami atas istrinya adalah istrinya tidak keluar rumah kecuali atas izinnya; jika tetap keluar rumah maka Allah, malaikat pembawa rahmat, dan malaikat pembawa murka akan melaknatnya sampai ia bertobat dan kembali pulang.” (HR. Ibnu Abu Syaibah).
Mengingat hak suami wajib dipenuhi, maka istri tidak boleh melanggarnya kecuali karena ada satu alasan yang bisa diterima.
Jadi, seorang wanita dihadapan suaminya serupa dengan budak atau tawanan, ia tidak boleh keluar rumah kecuali atas izin suaminya, baik disuruh bapaknya maupun ibunya, atau yang lainnya. Pendapat ini disepakati para Imam.
Namun, seorang suami hendaknya tidak melarang istrinya berkunjung ke rumah kedua orang tuanya; karena tidak menjenguk orang tua termasuk perbuatan durhaka dan memutuskan tali silaturrahmi.
Hendaknya seorang suami juga tidak melarang istrinya pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, shalat jumat, shalat idul fitri dan idul adha, dan untuk mengikuti pengajian.
Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kalian melarang istri-istrimu pergi ke masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Apabila seorang istri meminta izin pergi ke masjid, janganlah melarangnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Namun, semua itu baru diperbolehkan jika ada jaminan keamanan bagi diri perempuan itu sendiri dan tidak terjadi fitnah. Jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka suami boleh melarangnya keluar rumah.
Bahkan, menurut kalangan mazhab Hanafi belakangan, makruh bagi seorang perempuan meski sudah tua renta untuk keluar rumah. Aisyah pernah berkata, “Seandainya Rasulullah Saw. mengetahui apa yang telah diperbuat oleh para perempuan, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana para perempuan Bani Israel dilarang pergi ke masjid.” (HR. Bukhari).
Hukum Seorang Istri Berpergian Tanpa Mahram
Dalam syariat Islam, pada dasarnya seorang perempuan tidak boleh berpergian kecuali bersama salah satu mahramnya. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadis Ibnu Abbas r.a.
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجَلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq alaih).
Hanya saja sebagian ulama membolehkan seorang perempuan untuk bepergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Mereka mendasarkan pendapat ini pada hadis ‘Adiy bin Hatim r.a. bahwa Nabi saw bersabda kepadanya.
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيْنَ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ
“Jika kamu berumur panjang niscaya kamu akan melihat seorang perempuan pergi sendiri dari Hira (saat ini di wilayah Irak) hingga melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dia tidak takut kepada seorang pun kecuali dari Allah.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Ahmad,
فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَيُتِمَنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى تَخْرُجَ الظََّعِيْنَةُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْبَيْتِ فِيْ غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
“Demi Zat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, Allah pasti akan menyempurnakan urusan (agama) ini, sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hira hingga dia melakukan thawaf di Baitullah tanpa ditemani seorangpun“. (HR. Ahmad).
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri di atas, menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya keamanan selama perjalanan.
Sehingga, dibolehkan untuk mengambil pendapat ini karena mengandung kemudahan dan kelapangan, hanya saja perempuan tersebut harus mendapatkan izin suaminya jika ia mempunyai suami, atau izin walinya jika tidak bersuami.