Siapa sih yang gak mau segala planning ke depan itu terwujud? Semua orang pasti mau, termasuk aku. Namaku Reino Anggara, seorang karyawan di suatu perusahaan ternama di Ibu Kota. Kekasihku ‘Delila’ seorang mahasiswi Sastra Inggris di salah satu Universitas Negeri di Tanah Air. Hubungan kami sudah berjalan sejak 2016 silam, aku sudah sangat mengerti bagaimana sifat aslinya, dia pun begitu.
Pada pertengahan bulan Mei, dia memberi kabar yang bahagia, ya bahagia sekaligus agak sedih. Dia diterima untuk melanjutkan S2 nya ke German dengan beasiswa penuh. Pria mana yang gak bangga dengan pencapaian kekasih wanitanya? Pria mana yang gak sedih karena akan ditinggal wanitanya selama 2 tahun ke negara asing? Ya, akulah pria yang dilema akan perasaan itu.
Pagi harinya di kamarku yang sepi, dia datang menghampiriku bersama sahabatnya Nola, mereka berdua sama-sama diterima di University yang sama. Mereka menghampiriku yang sedang siap-siap tuk berangkat bekerja dengan membawakan sarapan serta kopi sebagai sarapan penghantar sapaan hangatya. “Sayang, seminggu lagi aku akan berangkat, sekarang masih dalam pengurusan berkas-berkas. Maaf, aku mengganggumu sepagi ini, karena aku tau kalau siang ataupun malam kita ga bisa ketemu lagi, kamu terlalu sibuk” ujarnya.
Aku terdiam merasa bersalah karena intensitas waktu kita bersama sangat minim. “Kok diem sih? Kamu bisa ngantar aku ke bandara kan? Mama, Papa, dan adikku juga akan datang dan mereka juga menanyakan tentang kamu” ujarnya kesal. “Iya sayang, aku akan lihat schedule aku dulu ya” menjawabnya sambil menyantap sarapanku. “Kenapa sih kamu? Apa aku kurang berharga ya di mata kamu makanya kamu itu masih mikir tuk nganterin aku? Itu perpisahan kita lho dan aku rindu juga sama kamu, apa ga bisa kamu kosongin sehari aja untuk aku?” ujarnya sambil menangis. Aku pun menoleh dan langsung pindah kesampingnya dan mengelus rambutnya sambil berkata “Iya sayang, aku juga rindu sama kamu, aku akan usahain semampu aku ya“. Dia pun mulai tenang dan memelukku.
Harinya tiba, dimana dia akan berangkat tuk mengejar impiannya, aku duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya dengan sangat erat, seakan tak ingin dia pergi. Sambil ngobrol dengan orangtuanya, kami terhanyut dalam suasana yang hening. Dimana orangtuanya harus melepaskan putrinya ke negeri asing dan aku yang harus melepaskan genggamanku dan membiarkannya mengutip mimpinya.
Semua nasehat dan masukan diterimanya, dan dia mencoba meyakinkan kami bahwa dia akan baik-baik saja dan akan segera kembali pulang. Huuffftt.. rela gak rela, aku akan kehilangan senyum manjanya tuk beberapa tahun. Sebulan, dua bulan, tiga bulan bahkan empat bulan tanpanya, terasa sangat sepi. Tak ada lagi teman ngopi bahkan tak ada lagi manjanya yang buatku kesal.
Selama beberapa bulan, kami saling berkomunikasi dan meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Entah kenapa disaat jauh begini, pikiran dan hatiku mengarah ke Delila, tak seperti disaat dia disampingku. Ya, sedikit merasa terpukul karena sering mengabaikannya. Di malam yang penuh bintang dan cahaya bulan yang begitu egoisnya menutupi ribuan bintang, aku bertanya kepadanya, ya seperti biasa, percakapan singkat yang berkualitas tapi kali ini aku mengacaukannya, “Coba deh kamu lihat keluar, banyak bintang, kamu kan suka bintang.” Lalu dia mengingatkan aku “sayang, disini masih siang. Kamu kenapa? Gak biasanya linglung kek gini”. Akupun terdiam beberapa detik, “Aku rindu, kapan kamu pulang?” ujarku. “Sayang, sabar ya. Setahun lagi, itu gak akan terasa. Gak akan pernah pergi lagi”. Kalimat penyejuk hati, dan peredam rindu membuatku semakin ingin memeluknya erat.
“Kalau tidak, kamu dong jumpain aku“ kembali dia merayuku dengan rindunya dan seketika aku merasa jadi pria yang memang tak memiliki waktu untuknya. “Sayang, pekerjaan masih banyak. Maaf aku ga bisa jumpain kamu kesitu, maaf ya“ . “hm, iya deh Mr. Sibuk” dia menggodaku, menggoda dengan ciri khasnya.
Ribuan bahkan jutaan kata rindu mungkin sudah bersarang di lidah dan telinga kami berdua, tiap hari bahkan detik tak bosan-bosannya aku melontarkan dan mendengar kata “rindu”. Bersabar dan penuh kesabaraan, kami menanti waktu dan kesempatan berpihak kepada kami berdua, menjanjikan sebuah pertemuan dan merindukan sebuah kebersamaan.
Hingga tiba di penghujung tahun terakhirnya menjadi mahasiswi, Toga akan berpindah arah tuk yang kedua kalinya akan terulang kembali, dia memberi kabar bahagia dan aku memberi kabar yang menyusutkan hatinya, ya apalagi kalo tidak kedatanganku yang tak bisa terisi dibangku pendamping, keluarganya juga tak dapat hadir karena pekerjaan. Tapi kali ini, dia tak menunjukkan perasaan sedihnya, karena dia berkata “Ga papa deh, yang penting aku bisa pulang”. Akupun meminta maaf dan merasa gak enak, gak tau kenapa perasaan ini sangat mengganggu. Rasanya inginku menghampirinya dan menemaninya tapi karena pekerjaan, ku tak bisa.
Selesai acara wisuda dan segala pemberkasannya, dia memberi kabar bahwa dia akan pulang pada hari Sabtu, dengan perasaan senang aku pun menjawab “aku jemput ya”. “Ih tumben-tumbenan mau jemput tanpa disuruh, ada apa nih?” dia menggodaku lagi, akupun sontak menjawab “ya namanya rindu!” lalu jawabnya “Iyadeh yang rindu, tapi kalo kita udah jumpa jangan nangis ya hehehe” kembali menggodaku, namun aku merasa lain dari godaan dia, tapi lagi dan lagi aku mengabaikan perasaanku itu.
Tiba di hari H, dia mengupoad foto di Instagram, dia sudah di bandara dan di dalam pesawat dengan caption “Ribuan hari telah kulewati dengan suka duka, tak bosan-bosannya mengucap dan mendengar kata rindu, dan akhirnya aku kembali, tugasku telah selesai. Terima kasih pihak-pihak yang mendukungku, I love you all “.
Setelah itu, dia menelponku dan mengabari bahwa pesawatnya sudah take off dan akan pulang membawa surprise untuk semuanya, belum sempat aku menyampaikan “hati-hati ya sayang. God bless you” telponnya sudah mati, ya dikarenakan jaringan.
Besoknya, aku menuju ke Bandara dan sedang menanti kedatangannya, sangat antusias karena wanita yang dikasihinya akan kembali. Namun setelah beberapa jam menunggu dan lewat dari batas waktu menunggu, pesawat yang ditumpangi Delila belum sampai juga dan akupun menanyakan itu kebagian informasi.
Setelah beberapa jam menunggu respon, akhinya mereka memberi kabar yang menyayat hati. Pesawat yang ditumpangi Delila mengalami kecelakaan, sontak aku berlari menuju bagian informasi dan bertanya dengar air mata mengalir deras. Mereka mencoba menenangkanku, bahkan ibunya pingsan dan kami semua berteriak. Aku sangat sangat terpukul, mengapa ini harus terjadi padaku, aku memastikan lagi bahwa ini adalah mimpi, tak tetap saja ku bangun ditempat yang sama dan dengan suara tangisan yang sama hingga akhirnya aku terdiam pilu sambil mengingat kembali perkataannya “Iyadeh yang rindu, tapi kalo kita udah jumpa jangan nangis ya hehehe”.
Aku bertanya-tanya, mengapa dia menggodaku dengan bahasa yang tragis, mengapa dia meninggalkanku dengan yang tragis pula. Tak pernah dia memberi kabar sedih, selalu cerianya menyelimuti tiap kabar yang Ia beri, tapi mengapa disaat aku menunggu kabarnya, bahkan bukan dia yang menjawab. Mereka pihak bandara yang menjawabnya dengan duka.
Hey wanitaku, Delila. Wanita yang kuat, manja, dan cerdas. Mengapa kau pergi meninggalkan semua planning kita? Mengapa kau pergi meninggalkan duka? Bukankah seharusnya kau kembali pulang? Bukan pulang ini yang kami inginkan, kami menginginkanmu kembali utuh seperti janjimu. Mengapa kau kejam meninggalkan banyak firasat? Mengapa kau egois dan pergi ke tempat dimana aku bisa menemuimu?
Akhirnya akupun memukul kepalaku sambil menyalahkan diri, seharusnya aku pergi menemuimu, seharusnya aku yang disamping bangkumu, seharusnya aku yang menghantarmu pulang, dan seharusnya aku yang menggenggam tanganmu dan menyerahkanmu ke orangtuamu, seharusnya aku!!!…
Kesedihan tak mampu terbendung lagi, akupun menangisi diriku dan dirimu. Terbesit janji yang pernah kuucap dan akan selalu kupastikan bahwa kau akan mendapatkannya. Aku tidak akan mencari wanita lain, semoga kita bertemu kembali di dunia yang mungkin Tuhan izinkan, dengan orang yang sama, perasaan yang sama dan rindu yang sama. Mungkin orangtuamu merelakanmu dengan bangga tapi ku ga akan pernah merelakanmu, hingga maut menjemputku.
Selamat jalan, wanitaku. Semoga bertemu lagi, aku merindukanmu, sangat!