Legenda Batu Bobo

Zaman dahulu kala, terdapat sebuah desa terpencil yang masih rimbun dengan pepohonan hijau. Penduduk desa hidup berkecukupan dari hasil ladang mereka. Namun pada suatu hari, desa yang jauh dari kota tersebut dilanda kekeringan.

Tanah yang gerasang membuat mereka sulit mendapatkan hasil panen yang melimpah. Para penduduk berkali-kali gagal panen. Bahkan para Raja desa itu sudah berjuang mati-matian untuk menemukan sumber mata air.

Namun sayang, letaknya ratusan mil dari pemukiman mereka. Untuk bisa menempuh jarak yang jauh itu mereka menghabiskan waktu selama sepuluh hari. Akhirnya, beberapa orang yang berhasil pulang dengan medan naik turun bukit yang curam.

Raja yang berkuasa pun akhirnya berpikir keras mencari jalan keluar. Agar rakyat keluar dari penderitaan dan musim kemarau yang berkepanjangan. Raja memutuskan untuk meminta pertolongan kepada Para Dewa.

Raja memerintahkan rakyatnya mempersiapkan persembahan untuk Dewa dari hasil lumbung kerajaan yang masih tersisa. Setelah persembahan selesai disiapkan, mereka pun memulai sebuah ritual.

Dewa pun turun ke bumi. Raja dan rakyatnya bersujud dan meminta bantuan kepada Dewa.

“Wahai Dewa, adakah sekiranya bantuan untukku dan rakyat kecilku ini? Kami mengalami kemarau yang panjang dan banyak hasil ladang yang gagal”, ucap Raja.

“Apa upeti yang kalian berikan untukku?”, tanya Dewa.

“Kami butuh sumber mata air untuk bisa menghijaukan ladang kami. Sebagai upetinya, kami akan berikan separuh dari hasil ladang kami”, jawab Raja tegas.

Rakyatnya hanya menunduk setuju. Melihat wajah-wajah sedih dan suara tangis anak kecil, Dewa pun mengangguk setuju. Dewa pun mengambil sebilah kayu lalu menancapkan kayu tersebut ke tanah.

Tiba-tiba tanah tersebut membelah menjadi dua bagian dan air menyembur keluar dari tempat kayu yang tertancap tersebut. Jadilah, tanah tersebut sebuah sungai jernih dengan aliran yang cukup tenang.

Rakyat memuji keagungan Dewa dan menyambut berita itu dengan menari. Mereka tampak bahagia hingga langsung berlarian ke rumah untuk menyiapkan kendi-kendi kosong yang akan segera diisi air.

Tiga bulan kemudian, ladang mereka tumbuh subur bahkan panen lebih cepat dibandingkan sebelumnya yang harus menunggu hingga berbulan-bulan. Kini mereka bisa memanen buah dan sayuran lebih cepat.

Dari sungai, mereka pun bisa menangkap ikan-ikan segar berukuran besar yang bisa dibawa ke rumah. Sejak itulah, kehidupan mereka melimpah ruah dengan buah dan sayur hasil panen dari ladang.

***

Beberapa tahun sudah berlalu. Rakyat terlena dengan kehidupan serba berkecukupan. Sumber air yang tertancap kayu tersebut menjadi aliran sungai yang diberi nama Sungai Pinang.

Karena di sepanjang aliran sungai terdapat banyak buah pinang yang tumbuh menjadi pohon pinang yang buahnya pun bisa dijadikan sumber penghasilan.

Sungai Pinang tersebut juga mengandung emas murni. Hal ini terjadi karena, sekumpulan rakyat yang berusaha mencari ikan segar menemukan batu berkilauan dari sana.

Rupanya batu tersebut adalah hasil tampah biji buah-buahan yang dibuang Dewa dari langit ke sungai tersebut. Karena rakyat memberikan upeti hasil ladang.

Batu berkiau tersebut dibawa ke rumah dan dijadikan hiasan. Tak lama dari situ, banyak penduduk desa di seberang mendatangi kampung itu dan mencari batu berkilau yang serupa.

Akhirnya banyak penduduk mengganti mata pencaharian dengan menambang di sungai tersebut. Semakin hari semakin banyak ukuran batu besar yang berkilauan yang ditemukan.

Mereka memutuskan untuk menjual batu tersebut, karena bosan menjadikan batu itu hiasan rumah. Mereka menjual ke desa seberang, jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Desa ini pun dikenal sebagai desa penghasil batu berkilau yang tersohor.

Beberapa tahun sudah berlalu rakyat hidup dalam kemakmuran dengan penghasilan berkecukupan, bahkan tak satu pun keluarga hidup dalam kemiskinan.

Hingga suatu hari mereka memanfaatkan uang hasil tambang emas itu dengan hal yang tidak berguna, sehingga para penduduk lupa dengan janji mereka pada Para Dewa. Mereka tidak lagi mencangkul tanah di ladang, mereka tak lagi menanam buah dan sayur.

Mereka tidak melakukan persembahan kepada Para Dewa. Para Dewa pun turun ke bumi dan menyamar dalam wujud berbagai  raga. Ada yang meraga menjadi pengemis. Ada yang menjadi gadis, bahkan ada pula yang menjadi pekerja.

Para Dewa ini mendengar suara-suara angkuh dari para penduduk. Suara yang membanggakan diri sehingga membuat mereka terlalu menikmati kejayaan.

Para penduduk yang mempergunakan uang hasil dari tambang emas itu dengan hal-hal yang tak berguna seperti bertaruh uang dan minum. Melihat keadaan para penduduk yang tak lagi mematuhi aturan Para Dewa.

Akhirnya Para Dewa memutuskan untuk menyihir batu berkilauan tersebut menjadi batu kokoh yang bahkan sulit dipecah.

Suatu pagi penduduk berbondong pergi ke sungai tersebut. Mereka terperangah melihat keanehan pada air sungai tersebut, dulu sungai tersebut berkilauan cahaya sekarang tidak lagi.

Sungai itu kini berubah menjadi keruh. Tiada lagi  tampak batu berkilauan yang ada di dalamnya. Hanya batu biasa. Batu keras yang tidak mengandung emas.

Keadaan ini membuat  mereka hidup sengsara dan kemiskinan merajalela. Berbagai penyakit timbul, bahkan banyak di anatara mereka meregang nyawa.

Setelah kejadian ini berlangsung  mereka ingat kesepakatan mereka dengan Para Dewa. Dewa dan melakukan persembahan untuk Dewa.

“Dewa, kembalikan kejayaan kami seperti dulu”, pinta seorang petinggi desa dengan kain lusuh.

“Benar dewa, kami ingin kembali dengan kejayaan itu”, suara wanita yang tengah menggendong anak.

Para Dewa hanya melihat mereka dengan wajah-wajah datar. Ya, karena Dewa mendengar suara-suara hati mereka yang picik. Rakyat-rakyat ini sengaja memohon belas kasihan dan tak akan mengubah sifat mereka.

Beberapa orang yang masih menggarap ladang hidup dengan berkecukupan. Bahkan sebagai tanda syukurnya, mereka tetap memberikan hasil ladang sebagai upeti.

Raja yang melihat kejadian itu pun hanya bisa pasrah. Para Dewa sudah memberikan peringatan kepada Raja agar rakyat bekerja dengan memanfaatkan ladang mereka. Akan tetapi, Raja tahu rakyatnya terlalu terlena sehingga tidak ingin turut dalam perintahnya.

Para Dewa tidak mengabulkan permohonan mereka, karena mereka telah melanggar janji mereka. Kini sungai tersebut tiada batu berkilauan dulu menjadi batu yang tertumpuk besar.

Mereka menyebutnya Batu bobo karena batu yang dulu berkilauan itu menjadi batu biasa yang besar bergunduk seperti orang-orang yang tengah tertidur di tepian sungai.

CeritaCerpen
Komentar (0)
Tambah Komentar